Cerita pendek oleh: Seno Gumira Ajidarma
Sumber: Harian Suara Merdeka, Edisi Minggu 24 Desember 2006
DRUPADI terbangun karena jeritan Utari. Semenjak kematian Abimanyu,
putri Wirata yang hamil tua itu susah tidur. Begitu juga malam itu,
di dalam tenda-tenda kubu Pandawa di lapangan Kurusetra. Drupadi
bermimpi buruk sekali. Dalam tidurnya ia melihat seekor kelelawar
berkelebat di tengah malam. Ia bisa melihat kelelawar itu dengan
jelas. Seperti bukan sembarang kelelawar. Ini kelelawar siluman.
Matanya yang merah kekuningan menyorot dengan kejam dalam kegelapan.
Mulutnya yang bergigi runcing menetes-neteskan darah, tetesan
darahnya membasahi dedaunan di dalam rimba. Ia melihat kelelawar itu
dipanah oleh Sikhandi, dibabat kelewang Drestajumena, dilempar jala
Pancawala, namun kelelawar itu selalu bisa menghindar. Ia melejit
sampai ke rembulan, kembali lagi dengan cepat menyambar ketiga
ksatria itu tanpa bisa dilawan. Darah menetes dari mulutnya, terbang
menembus malam.
Lantas terdengar jeritan Utari.
"Ada apa Utari?"
"Ada orang di dalam tenda."
"Siapa?"
"Entahlah. Gelap sekali. Ia membawa pisau belati yang menetes-
neteskan darah."
Tiada rembulan di langit, namun redup cahaya lentera di setiap tenda
menyisakan ingatan dalam benak Utari.
Di luar terdengar suara orang mulai ramai. Mereka keluar.
Para Pandawa sedang meninggalkan perkemahan mereka, atas anjuran
Kresna melakukan penyucian, dengan mengunjungi tempat-tempat keramat.
Demikianlah dikisahkan oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh 1):
...mereka itu telah menuju ke desa-desa untuk secara diam-diam
mengunjungi tempat-tempat ziarah dengan berjalan kaki. Mereka itu
berhasrat besar untuk dengan sejenak melihat keindahan malam yang
memesonakan dan serbaindah dan tenang.
Terutama dewi Kunti yang sangat sedihnya, karena menderita kesusahan
yang tidak ada bandingannya. Begitu pula dewi Draupadi, putri raja
Drupada, sangat memilukan keadaannya dan tidak tahu apa yang akan
menjadi obat kesukarannya. Kedua orang ini berkeluh kesah seolah-olah
mereka itu tidak ada di dunia, setelah lima orang anak Pannddawa lima
itu terbunuh; mereka sungguh-sungguh susah! Karena tidak tahu apa
yang akan dikerjakan, mereka menunjukkan penyesalannya terhadap raja
Kreshna yang mengajukan usul kepada orang Panddawa untuk pergi.
"Aduhai, lima orang anak Pannddawa; wahai anak-anak yang tercinta!
Sayanglah kamu sekalian telah meninggal. Kamu sekalian belum pernah
menikmati rasa suka, tetapi sekonyong-konyong kamu dibinasakan oleh
musuh! Pasti tidak akan terjadi, wahai anak-anakku dan tidak akan
mengalami kematian, sekalipun diserang oleh musuh yang sejuta
jumlahnya, apabila ayah-ayahmu ada di tempat ini dan tidak pergi
karena diminta untuk mengadakan ziarah minta bantuan kepada dewa-dewa.
Akhirnya Kreshnna-lah, anak raja Wasudewa, yang menyebabkan
kematianmu sekarang, wahai anak-anakku sekalian. Ikhlaskanlah
kematianmu, yang kejam itu, wahai anak-anakku sekalian; dosamu ialah
karena kamu tidak menghadap lagi ayah-ayahmu! Pastilah bahwa saya
akan ikut mati, supaya dapat mengantarkan ayahku yang juga telah
gugur, demikianlah halnya dengan saudara-saudaraku yang juga telah
tidak ada; mereka telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya. Apa
tujuannya, apabila saya tidak merelakan hidup saya ini di dunia?"
Kresna berkata.
"Ingatlah Drupadi, bukan hanya dikau seorang yang menderita. Pandawa
juga kehilangan saudaranya, seratus Kurawa dan Resi Bhisma tercinta.
Utari yang hamil tua bahkan juga kehilangan suaminya. Tak ada yang
menang dalam peperangan. Tak akan pernah ada..."
burung hantu hinggap di puncak tiang
berlayar malam-malam ke Yordania
melihat sukma Aswatama gelandangan
menyandang 3000 tahun beban kutukan, o
Catatan:
1) Pada akhir Kakawin Bharata-Yuddha tertulis : Bukan saya sendirilah
yang menyusun ceritera ini; adalah seorang pujangga dari sang raja
yang termasyhur di dunia ini yang bernama Mpu Seddah, orang yang
tinggi martabatnya. Ialah yang menyusun bagian depan ceritera ini
yang indah dan tidak ada bandingannya. Pada waktu sampai ceritera
ketika raja Salya menjadi panglima, Mpu Seddah menyuruh saya
menyelesaikan cerita ini, karena saya merasa kikuk dan tunarasa.
Karena saya merasa sayang tentang ciptaan penyair raja ini yang
sangat indah, saya dengan sengaja memberanikan diri untuk melanjutkan
akhir ceritera ini yang mengerikan (Wirjosuparto, 1968: 360).
Terjemahan lain: Dengan demikian saya tidak sendirian dalam menggubah
kisah ini. Seorang yang mematangkan kepandaiannya sebagai abdi sang
raja, Mpu Sedah yang tersohor itu, menulis bagian pertama kakawin
ini,tanpa ada satu cacad pun yang mengurangi keindahannya. Adegan
ketika Salya menjadi panglima tertinggi, mengawali bagian karya yang
dibebankan kepadaku dan yang bersifat janggal dan tawar. Sungguh
sangat disayangkan, bahwa kemanisan sang penyair istana lalu dilapisi
kepahitan (Zoetmulder, 1983: 340-1). Dari dua terjemahan atas teks
yang sama, namun bisa tertafsirkan berbeda ini, tetap jelas
menunjukkan bahwa penulis bagian yang dikutip, dan kutipan
selanjutnya, adalah Mpu Panuluh. Seluruh kutipan dari versi
Wirjosuparto.
2) Bandingkan bagian ini dengan versi Zoetmulder, yang
menerjemahkannya dari bahasa Jawa Kuno ke bahasa Inggris, yang
diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko : Biarpun bulan
muda, namun malam cerah karena bintang-bintang gemerlapan dan kunang-
kunang pun berkedip-kedip seolah-olah mau menunjukkan jalan.
3) Kamanak dan kangsi: nama alat musik (Zoetmulder, 1995 : 449, 456).
4) Masih mengacu kepada perhitungan waktu India sezaman : kala (48
detik); ghati, ghatika, nadi, nadika (24 menit = 30 kala); muhurta,
ksana (48 menit); divasa (24 jam). Jadi yang dimaksud adalah pukul
03:00 pagi (Zoetmulder : 243).
5) Dalam cerita yang Anda baca, Pancawala adalah anak Drupadi dari
kelima ayahnya. Pilihan ini saya anggap lebih praktis, dan lebih unik
(Drupadi tak tahu siapa ayah biologis Pancawala), ketimbang Drupadi
mempunyai lima anak dari lima ayah seperti teks Kakawin Bharata-
Yuddha ini. Dalam Mahabharata dari India lima anak itu adalah
Pratiwindya dari Yudhistira; Srutasoma dari Bima; Srutakirti dari
Arjuna; Srutanika dari Nakula; dan Srutawarman dari Sadewa. Dengan
begitu Drupadi di sini tetap poliandris. Dalam versi Jawa Baru,
Pancawala adalah anak Drupadi dari Yudhistira. Menjadi jelas kini,
darimana kata panca itu berasal. Agaknya yang lima itu disatukan,
atau sifat ke-lima-annya dipertahankan, ketika suami Drupadi
dijadikan satu orang saja. Adapun kata wala berarti jejaka.
6) Wirjosuparto, op.cit., h. 344-7.
7) Poerbatjaraka (1992: 19-20).
8) Berasal dari versi lain, dengan ibu bernama Krepi (Poerbatjaraka:
32).
9) Wirjosuparto, op.cit., halaman. 348-9.
***
Sekalipun pada waktu itu sedang gelap, karena bulan tanggal tua,
keadaannya terang disebabkan karena sinar bintang yang berkilauan
terang benderang. Di tepi jalan kunang-kunang bersinar-sinaran dan
dengan terbang bersama-sama itu seolah-olah menunjukkan jalan. 2)
Keadaannya sedemikian bagusnya, seolah-olah keindahan langit dan bumi
itu saling bertukar-tukaran pada waktu malam itu. Kayu-kayunya
menjadi mega, sedangkan meganya menjadi kayu menurut anggapan mereka
yang terpesona. Bintang-bintangnya menjadi kembang, sedangkan kembang-
kembangnya yang bertebaran itu merupakan bintang yang ada di angkasa.
Sungai menjadi halimun yang bergantungan, sedangkan halimun yang
bergantungan menjadi sungai yang mengalir dengan kencangnya.
Adalah suatu bukit dengan belukarnya yang berkumpul-kumpulan,
sehingga dingin keadaannya. Di tempat itulah salju menyongsong. Bukit
itu sekaligus ingin minum embun yang telah terkumpul di lereng bukit
kecil. Burung cucur mengeluarkan suara yang mengerikan, karena
suaranya menyerupai nyanyian yang terus menerus berisikan ratapan
tangis. Suara indah ini disertai oleh suara burung tadahasih yang
dengan cara yang tidak memaksa mencari keindahan.
Dan di suatu sungai terdengar suara jentera yang digerakkan oleh air,
seolah-olah menyerupai salunding dalam pertunjukan wayang. Bambu
kosong yang tertiup angin itu mengeluarkan suara dan itulah suara
seruling yang mengiringinya. Yang merupakan nyanyian orang-orang
wanita adalah nyanyian kodok yang terdengar di jurang-jurang. Suara
cenggeret dan yanyian belalang yang keras dan riuh itu merupakan
suara berirama dari kamanak dan kangsi. 3)
Adalah suatu ladang sunyi yang belum menghasilkan padi; orang-orangan
untuk menakut-nakuti burung dengan waspada mengadakan penjagaan
terhadap pencuri. Sebab babi rusanya dengan diam-diam dan dengan
tidak diketahui dengan seenaknya saja merusak tanam-tanaman. Alat
perangkapnya dapat menangkap sesuatu binatang dan ini dibuktikan oleh
pukulan kentongan yang digantungkan itu sehingga berbunyi dengan
tiada hentinya. Suara kijang yang serak dan terus kedengaran riuh
rendah di jurusan Barat Laut menjawab teriakan kuwung.
Halimun seolah-olah memberi semangat; adalah seorang penjaga yang
masih muda dan sebagai orang ketiga ialah seorang wanita. Dengan diam-
diam mereka itu berbuat serong pada waktu orang-orang lainnya sedang
tidur; orang yang berjalan dengan tidak diketahui itu terserang oleh
hembusan angin. Pada waktu itu ia menghilang; ada beberapa pohon
cemara yang sambil menantang bersorak-sorak; itulah sesungguhnya
teriakan orang-orang yang mengadakan ilmu sihir. Burung kokok beluk
mengeluarkan suara yang menakutkan, sedangkan suara yang dikeluarkan
oleh ular-ular naga menyerupai suara genta yang menakutkan.
Perjalanan orang-orang Pannddawa lima itu telah jauh dengan
diantarkan oleh raja Kreshnna dengan memasuki hutan-hutan yang lebat.
Mereka itu berkumur dengan air dari tiap-tiap tempat berziarah yang
mereka lalui dan yang mereka taburi dengan bunga. Yang mereka
harapkan, ialah kesucian hatinya yang gilang gemilang, supaya mereka
mendapatkan kesukaan yang bersih dari segala noda. Sekalipun ini yang
telah diharap-harapkan, hati mereka merasa ngeri dengan tidak
diketahui darimana datangnya rasa takut itu.
Waktu itu sunyi senyap, ialah jam enam. 4) ; akhirnya diketahui
adanya suatu tanda yang tidak baik. Ada beberapa ekor burung gagak
yang datang tidak pada musimnya dan setelah burung-burung itu saling
berkelahi dan saling menyambar memuntahkan nanah yang busuk. Juga ada
beberapa anjing yang saling menyerang dan berkelahi, sedangkan pada
waktu yang bersamaan itu turunlah hujan darah dan yang menjatuhkan
air hujan sebesar buah pinah dan kepala orang. Tempat itu penuh
dengan orang-orang raksasa dan mayat yang tidak berkepala dan yang
menari-nari dan ada di antaranya yang dengan ganasnya memanggul
bangkai.
Dalam sekejap mata hilanglah mereka itu dan dengan nyata datanglah
beberapa orang utusan yang menyembah kaki orang Pannddawa. Konon
dikatakan, bahwa banyak di antara mereka itu diberi bertugas untuk
mencari orang-orang Pannddawa; mereka itu telah membagi dirinya dalam
beberapa kelompok, sehingga mereka itu menuju ke beberapa jurusan.
Mereka memberitahukan, bahwa perkemahannya telah hancur karena
terbawa oleh arus serangan yang dahsyat yang diadakan oleh
Acwatthama, anak pendeta, sehingga mengalami kerusakan. Orang-orang
bangsawan yang telah didahului oleh serangan mereka tidak lagi
bernafas; itu sudah semestinya, karena mereka itu sedang tidur
nyenyak.
Terutama Dhresttadyumna dan Cikannddi yang telah dibunuh, demikian
juga halnya dengan lima orang anak Pannddawa 5) yang telah dikuasai
oleh Acwatthama yang kesemuanya itu telah dipenggal kepalanya. Tidak
diceriterakan nasib raja-raja yang mengakui kepemimpinan raja
Yudhishttira bersama-sama dengan menteri-menterinya yang juga telah
binasa. Hanya puteri-puteri saja yang tidak terbunuh bersama-sama
dengan mereka yang sempat mengangkat kaki dengan takutnya. 6)
Drupadi teringat mimpinya, langsung menuju ke tenda putranya,
Pancawala.
Sebentar kemudian terdengar jeritan Drupadi, yang langsung pingsan.
Orang-orang yang menyibak tenda Pancawala, Sikhandi, dan Drestajumena
terkesima. Tenda itu robek di bagian belakang. Di dalam tenda tampak
ketiga ksatria itu terkapar bersimbah darah. Mereka telah dibunuh
dalam tidurnya. Drestajumena, ksatria Pancala yang memenggal kepala
Mahaguru Dorna, tewas dengan luka tusukan di dadanya. Sikhandi yang
menumbangkan Bhisma, hancur tubuhnya, seperti ditusuk-tusuk dengan
membabi buta. Pancawala yang tak pernah berperang, merah seluruh
tubuhnya bermandi darah.
Perkemahan itu menjadi gempar. Bima yang murka melemparkan para
penjaga malam sampai tidak kelihatan lagi. Yudhistira, Arjuna,
Nakula, Sadewa, tak mampu bersuara menyaksikan Pancawala. Tanpa
menunggu perintah sejumlah regu berkuda telah menderap ke dalam
hutan. Namun dalam gelap malam tak berbulan, apakah yang bisa
ditemukan?
"Apa yang kau lihat, Utari?"
Utari mencoba mengingat apa yang dilihatnya.
"Gelap sekali, tapi cahaya lentera memperlihatkan sesuatu yang aneh."
"Apa?"
"Orang itu bersurai seperti kuda, dari belakang kepala sampai leher
dan punggungnya. "
Arjuna mendesis.
"Benar, Aswatama..."
"Utari, kau lihat ada mutiara di dahinya?" Bima bertanya.
"Sesuatu berkilat dari dahinya."
Di seluruh dunia hanya ada satu manusia seperti itu, karena Aswatama
adalah anak Mahaguru Dorna dari seekor kuda sembrani yang sebenarnya
bidadari Dewi Wilutama. 7) Ketika dia dilahirkan, di langit terdengar
suara ringkik kuda, maka ia diberi nama Aswatama. 8) Meski menguasai
segenap kesaktian ayahnya, Aswatama tidak pernah mampu menguasai rasa
takut -kini ketakutan itu diatasinya dengan cara yang nekat. Dendam
telah mengalahkan ketakutannya, meski melanggar tatacara ksatria.
Arjuna melepaskan panah yang sakti ke langit. Dengan seketika alam
terang benderang. Dalam sekejap, Arjuna melesat ke dalam hutan. Bima
dan Nakula-Sadewa menyusulnya.
Para pengawal yang berjaga di tenda Yudhistira mendengar ratapan
Drupadi.
"Suamiku, raja agung yang telah mendapat kemenangan, berbahagialah
dengan segala perolehan. Engkau telah mendapatkan kembali
Indraprastha, kini mendapatkan kembali Hastina beserta segenap
taklukkannya. Betapa luasnya kini kerajaanmu, Yudhistira, betapa
besar kekuasaanmu. Dalam Rajasuya engkau telah mendapatkan segala-
galanya, dan kini engkau telah memusnahkan musuh-musuhmu pula.
Berbahagialah. Berjayalah. Naiklah ke singgasana. Tinggalkanlah aku
yang kini telah menjadi sebatang kara. Ayahku, Drupada yang tua,
telah memberikan nyawanya untuk kemenanganmu. Saudaraku Drestajumena,
telah memimpin balatentara Pandawa untuk kejayaanmu. Saudaraku
Sikhandi telah menumbangkan Bhisma yang bahkan tak terkalahkan oleh
dewa-dewa. Putra kita Pancawala yang hanya mampu mencintai sesama
manusia, hancur luluh tubuhnya. O, Yudhistira, telah kuberikan
segalanya untukmu, terimalah, dan tinggalkan aku. Dewa-dewa tidak
mengizinkan aku hidup bahagia. Baru beberapa hari terhapus dendam
yang merajamku bertahun-tahun, malapetaka melanda begini rupa.
Siapakah kiranya yang tidak akan menduga, bahwa aku memang dilahirkan
untuk hidup menderita? O, dewa! Siapakah kiranya tega memasangkan
peran ini untukku? Peran perempuan menderita tiada terkira. Biarlah
kuikuti orangtua, saudara, dan anakku tercinta. Tak tahu ke nirwana
atau ke neraka."
Yudhistira mengelus bahu Drupadi.
"Drupadi..."
"Aku bukan Drupadi. Aku tak tahu siapa diriku lagi. Perasaanku
hancur, tubuhku mengambang, jiwaku melayang-layang. Karmapala apakah
ini? Sebagai gadis brahmin kuucapkan mantra meminta suami sampai lima
kali, dalam penjelmaan kembali aku menjadi Drupadi, mendapatkan lima
suami yang menyeret aku ke dalam penderitaan. Apakah permintaan
seorang perempuan untuk mendapatkan suami, bahkan memilih sendiri
suaminya dalam sayembara adalah berlebihan, sehingga mendapatkan
karmapala penderitaan? Aku Drupadi merasa hidupku menderita, meski
aku adalah putri kerajaan Pancala yang bersuamikan maharaja
Indraprastha. Kalau begini caranya lebih baik aku menjadi orang
sudra, atau paria, pasti aku lebih berbahagia. O, Yudhistira,
katakanlah kepada Arjuna agar merampas mutiara di dahi Aswatama.
Biarlah aku menjadi perempuan yang penuh dengan dendam, jika memang
suratan menghendakinya demikian."
iKainheRe
:::: tHe fRienDLy kinDLy cHeeRy giRL ::::